Dalam estetika tradisional Jepang, wabi-sabi (Jepang: 侘寂) merupakan sebuah pandangan dunia yang terpusat pada penerimaan terhadap kefanaan dan ketidaksempurnaan. Estetika tersebut kadang-kadang dijelaskan sebagai salah satu keindahan yang tak sempurna, tak kekal, dan tak lengkap.
Pengertian Secara Umum
Makna kata wabi (侘) dan sabi (寂) sendiri memiliki keambiguan yang membuatnya sulit untuk dijelaskan. Kata wabi (侘) berasal dari kata kerja wabu, yang berarti merana, dan kata sifatnya, wabishii (侘しい), digunakan untuk menggambarkan rasa sedih dan kemiskinan. Kata tersebut juga dapat berarti sederhana, tidak materialistis, dan rendah hati. Kata sabi (寂) mempunyai arti seperti pergerakan alami, dan pengertian bahwa keindahan tidak selamanya ada.
Definisi kata sabi berubah seiring waktu, dari arti kunonya, yaitu ketandusan atau kehancuran menjadi bertumbuh tua. Salah satu penggunaan kata sabi (寂) yang pertama kali adalah oleh penyair Fujiwara no Toshinari, yang menggunakannya untuk menggambarkan rasa kesepian atau kesedihan.
Richard Powell, pengarang buku Wabi Sabi Simple, mengatakan, konsep tersebut mengajarkan tiga realitas sederhana: bahwa dalam hidup ada hal-hal yang tidak dapat bertahan, tidak selesai, dan tidak ada yang sempurna.
Di Jepang sendiri, arti wabi dan sabi telah berkembang seiring berjalannya waktu. Wabi dikaitkan dengan jenis kesepian dan kesendirian yang mirip dengan apa yang dirasakan pertapa di wilayah terpencil. Sementara sabi berhubungan dengan sesuatu yang ternoda atau berkarat tanda-tanda perkembangan alamiah.
Wabi sabi
sering juga dikaitkan dengan rasa damai dalam melihat perubahan alami
kehidupan. Menerima fakta bahwa hidup dan hal-hal yang ada di dunia ini
tidak kekal, memungkinkan kita untuk lebih menghargai keindahannya.
Sebagai contoh, meja kayu yang sudah tua, tampak kusam dan jelek. Dengan
menerapkan wabi sabi, kita berusaha melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan meja akibat pengaruh usia.
Secara singkat, wabi sabi fokus kepada 'menghargai' dan 'menerima' sesuatu yang tidak sempurna baik karena sudah tua, tidak lengkap, atau memang biasa saja. Konsep wabi sabi menganggap ketidaksempurnaan merupakan bagian dari hidup dan tidak seharusnya disangkal.
Sejarah
Prinsip wabi-sabi pertama kali muncul pada masa Dinasti Song, dan asal usulnya dapat ditemukan dalam kisah Sen no Rikyu , biksu Zen abad keenam belas yang berteori tentang upacara minum teh yang masih dipraktikkan di Jepang kontemporer. oleh Sen no Rikyū pada zaman Muromachi. Rikyū adalah orang pertama yang menerapkan estetika wabi-sabi dalam berbagai bentuk kesenian Jepang, seperti upacara minum teh Jepang serta ikebana (kesenian merangkai bunga).
Estetika wabi-sabi berlandaskan filosofi Zen, yang dibawa ke Jepang oleh biksu Zen Eisai pada abad ke-12. Kegiatan upacara minum teh menjadi salah satu elemen terpenting dalam wabi-sabi. Upacara ini pertama kali diformalisasikan pada zaman Kamakura, dan disebarkan oleh Ikkyū dan dipopulerkan oleh Sen no Rikyū.
Sen no Rikyu masih dianggap sebagai salah satu master teh terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah. Dia membantu mengubah upacara minum teh seperti yang dipraktikkan sebelumnya, dengan peralatan mewah dan kegembiraan, menjadi ritual yang halus. Dari kesederhanaan objek dan suasana minimalis kedai teh memancarkan keindahan halus yang tak tertandingi.
Mulai abad ke-14, kesepian dan kesendirian tidak dipandang lagi sebagai hal buruk, melainkan sesuatu yang bisa membuat kita bebas dan lebih bijak. Dan ketidaksempurnaan yang dihasilkan dari perkembangan alami kehidupan, harus dirangkul sebagai pengingat akan ketidakabadian.
Menurut legenda, Rikyu muda, yang sangat ingin mempelajari kode ritual leluhur upacara minum teh, pergi mencari ahli teh yang diakui bernama Takeeno Joo. Yang terakhir ingin menguji kemampuan murid barunya dan memintanya untuk merawat taman. Rikyu membersihkannya dari atas ke bawah dan menyapunya hingga sempurna. Namun, sebelum mempresentasikan karyanya kepada tuannya, ia mengguncang pohon sakura dan bunga sakura berjatuhan ke tanah . Sentuhan ketidaksempurnaan ini membawa keindahan ke pemandangan dan dari situlah konsep wabi sabi lahir.
Penerapan
Terdapat prinsip Zen yang digunakan untuk mencapai estetika wabi-sabi:
- Asimetri (不均斉 fukinsei)
- Kesederhanaan (簡素 kanso)
- Keagungan (考古 kōko)
- Kealamian (自然 shizen)
- Kebebasan (脱俗 datsuzoku)
- Ketenteraman (静寂 seijaku)
- Keindahan Dalam Kesederhanaan (渋み Shibui)
Wabi-sabi Dalam Kehidupan Sehari-hari
Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam berbagai penerapan estetika kesenian wabi-sabi, di antaranya:
- Taman Zen
Taman Zen, taman yang sudah dibuat sejak zaman Kamakura dan Muromachi, dan mempunyai dua jenis. Jenis pertama terdiri dari taman yang terhubung dengan kuil Zen. Taman jenis ini dibuat untuk dilihat dari ruangan dalam kuil atau ruang minum teh.
Contoh-contoh taman sejenis ini seperti taman kuil Daitoku-ji dan Nanzen-ji. Jenis taman kedua biasa disebut roji, yang biasa digunakan untuk dilewati dari dan ke chashitsu (rumah atau ruang minum teh). Biasanya taman-taman jenis ini mempunyai jalan bebatuan yang bisa dilewati. Contoh taman jenis ini adalah taman Vila Kekaisaran Katsura.
Apa yang bisa lebih menggugah daripada taman, di mana elemen fana (lumut hijau, semak yang tumbuh, kelopak bunga segar) dan komponen abadi (pasir yang digaruk, batu tua) dicampur secara harmonis. Kebun Jepang dan evolusinya dari waktu ke waktu dan sepanjang musim adalah ilustrasi wabi sabi yang tak terhitung jumlahnya.
- Ikebana
Ikebana, adalah kesenian merangkai bunga Jepang. Kesenian ini sudah dilakukan sejak abad ketujuh, yang berasal dari tradisi Tiongkok untuk memberikan persembahan kepada Buddha. Bentuk ikebana bergaya yang pertama disebut rikka, yang berarti "bunga berdiri".
Terdapat beberapa bentuk ikebana lainnya, seperti bentuk nagaire dan chabana, yang dibuat oleh Sen no Rikyū. Chabana merupakan rangkaian-rangkaian bunga yang dipajang saat upacara teh. Ikebana dapat diterjemahkan sebagai bunga hidup dan, seperti halnya semua makhluk hidup, setiap jenis tanaman memiliki ciri khasnya masing-masing.
Ciri utama yang kita perhatikan adalah apakah batang atau cabang tanaman itu rapuh atau lentur. Karena wabi sabi mendefinisikan keindahan dalam sifatnya yang fana, sekuntum bunga dalam vas mewujudkan konsep ini dengan sempurna. Berdasarkan keselarasan antara asimetri, kedalaman, dan ruang, ikebana menghadirkan keindahan komposisi bunga murni. Di sini Anda dapat mengetahui Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Ikebana .
- Puisi Jepang
Puisi Jepang, puisi yang memiliki isi yang sedikit dan lebih pendek dibandingkan puisi dari Barat. Salah satu bentuk puisi Jepang yang paling terkenal adalah haiku. Haiku biasa hanya ditulis dengan tiga kalimat, dan mempunyai pola puisi 5-7-5.
Normalnya ditempatkan hanya dalam satu baris tanpa ada rima yang jelas. Namun sepertinya aturan tentang bentuk penulisan tidak terlalu ketat juga terutama di haiku modern, bisa satu baris, dua baris, atau tiga baris, pokoknya satu kalimat utuh.
- Pembuatan Keramik
Kesenian keramik, kerajinan yang terdapat banyak di Jepang, seperti mangkuk teh, stoples, vas bunga, wadah dupa, dan lainnya. Jenis tembikar raku menjadi salah satu karya keramik paling berharga. Mangkuk teh raku pertama kali dibuat oleh Chojiro, seorang pembuat ubin, dengan bantuan Rikyū.
- Teater Noh
Teater drama Noh, adalah kesenian drama Jepang yang dibuat oleh Kan'ami pada zaman Muromachi di abad ke-13. Kesenian ini lalu dikembangkan oleh Zenchiku dan Zeami.Normalnya ditempatkan hanya dalam satu baris tanpa ada rima yang jelas. Namun sepertinya aturan tentang bentuk penulisan tiYang kedua Noh, adalah seni pementasan seni drama kalisk yang cirinya memakai topen. dan menarinya secara lambat.
Semua pelakon Noa adalah laki-laki, kemampuan itu tidak datang sendiri atau baru dilatih ketika ingin mementaskan Noah. Tetaapi kemampuan dalam menjadi pemeran Noa telah dilatih ayah mereka. Sebenarnya tidak hanya laki-laki yang bermain di lakon Noa, ada seorang wanita walau hanya muncul bukan sebagai pemeran utama.
- Kintsugi
Kintsugi, teknik Jepang kuno untuk memperbaiki benda, yang terdiri dari memperbaiki bagian yang rusak dengan pernis yang dicampur, atau ditaburi bubuk emas. Alih-alih membuang keramik yang pecah atau rusak, seni ini memberi kesempatan kedua pada mangkuk, cangkir, atau vas bunga, yang dihias dengan karya yang sangat teliti ini.
Fokus pada penggunaan kembali dan perbaikan ini terkait dengan konsep mottainai, atau menghindari pemborosan, yang saat ini lebih penting daripada sebelumnya.
- Shakuhachi
Contoh lainnya, konsep wabi sabi dapat diterapkan sesederhana melihat keindahan pada daun-daun kering yang gugur dari pohonnya, tidak senewen ketika melihat noda di karpet, atau menghargai diri sendiri meski memiliki banyak kekurangan.
Sulit dipahami dan indah, wabi sabi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Jepang . Di mana-mana, itu adalah dasar dari kepekaan Jepang yang halus yang begitu sering mengejutkan kita. Hari ini, gagasan ini layak mendapat penekanan lebih karena mendorong kembali ke nilai-nilai rendah hati dan bersahaja.
No comments:
Post a Comment