Gelombang unjuk rasa anti Jepang terkini di Cina, memicu sejumlah perusahaan Jepang yang mengkonsentrasikan operasi bisnisnya di negara tirai bambu berpikir ulang, dan menjajaki kemungkinan mengalokasikan sebagian investasinya ke kawasan Asia Tenggara, Indonesia berpotensi menjadi pilihan, namun masih perlu banyak perbaikan.
Media internasional melaporkan
sejumlah perusahaan otomotif dan elektronik Jepang, seperti Toyota,
Honda, Nissan, dan Panasonic berencana mengurangi produksi atau menutup
pabriknya di Cina.
Data penjualan bulan September yang
dirilis anak perusahaan Toyota dan Honda di Cina, menunjukkan penurunan
yang terjadi hampir mencapai 50 persen, pasca demonstrasi besar-besaran
anti Jepang.
Salah seorang pejabat Toyota Motor
Corp yang mengunjungi Jakarta pada pertengahan September silam
menjelaskan adanya tren perusahaan kecil dan menengah asal Jepang di
Cina, yang berencana mengurangi investasi di negeri tirai bambu itu, dan
memindahkan atau menambahkan porsi investasi yang sudah ada di negara
ekonomi berkembang lainnya, dan ini merupakan peluang emas bagi
Indonesia untuk menarik gelombang investasi perusahaan Jepang.
Indonesia berpotensi menarik
investasi perusahaan Jepang yang berencana menambah kapasitas
produksinya, atau memindahkan basis produksinya dari Cina, didukung
sejumlah faktor seperti berlimpahnya jumlah tenaga kerja, kemudahan
untuk mendapatkan pemasok bahan baku, kebijakan yang pro bisnis, dan
telah berkembangnya industri pendukung, serta besarnya jumlah populasi
yang berpotensi juga menjadi pasar bagi produk.
Sementara di level internasional,
Indonesia juga dinilai sebagai negara paling potensial untuk tujuan
investasi, seperti diperlihatkan dalam hasil survei tahunan the United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang diikuti 174
perusahaan, menempatkan Indonesia di peringkat keempat, naik dua
peringkat di banding tahun 2011, dan dibawah Cina, Amerika Serikat dan
India.
Namun, berbagai peluang itu bisa hilang karena Indonesia juga mempunyai sejumlah kendala, seperti infrastruktur, dan korupsi.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto dalam kesempatan Rapat
Koordinasi Nasional Kadin pada pertengahan September silam menyatakan,
Indonesia tidak selalu menjadi pilihan para investor asing untuk
berinvestasi karena kendala infrastruktur.
Menurut Suryo, investasi yang masuk
ke Indonesia masih berkisar pada eksploitasi sumber daya alam (SDA)
untuk diekspor dalam bentuk komoditas dasar. Penduduk yang besar
jumlahnya dinilai belum menghasilkan tenaga kerja dengan produktivitas
tinggi.
“Perpindahan barang dengan mudah,
murah dan dalam jumlah besar belum dapat dicapai karena kendala
infrastruktur yang belum memadai,” imbuhnya.
Sementara pengamat ekonomi
Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo Rabu pekan silam dalam
wawancara dengan Republika awal Oktober, menyatakan meningkatnya kasus
korupsi berpotensi menurunkan minat investor asing ke Indonesia.
Menurut Rimawan, perusahaan asing
yang akan berinvestasi di Indonesia memiliki sistem audit yang tepat.
Jika dimintai biaya "macam-macam" oleh instansi pemerintah, maka tidak
ada investor yang mau menanamkan modalnya di Indonesia.
"Kebanyakan dari investor
mengeluhkan besarnya pungutan dari instansi pemerintah. Pihak asing
lebih suka biaya tinggi tanpa pungutan dari berbagai instansi daripada
biaya yang dikeluarkan diselewengkan oleh birokrasi," katanya.
Sementara Destry Damayanti Chief
Economist Bank Mandiri Rabu (10/10), menyatakan melihat fenomena anti
Jepang terkini di Cina, Indonesia bisa dapat windfall, namun kendalanya
yang paling utama yakni infrastruktur.
"Kalo pengusaha mau berbisnis di
Indonesia, tapi fasilitas infrastrukturnya tidak ada itu akan menjadi
masalah. Karena kalau ingin bangun pabrik pasti butuh pasokan listrik, Selain itu fasilitas infrastruktur lainnya yakni, sarana transportasi, seperti jalan," ujar Destry.
Sementara mengenai masalah tenaga
kerja, menurut Destry, para pekerja pada akhirnya akan berpikir
realistis, dan menilai perlu untuk lebih toleransi dengan pihak
manajemen perusahaan guna mencapai kesepakatan.
Ketika ditanya mengenai masalah
birokrasi dan Korupsi, sebagai faktor yang menjadi kendala investasi di
Indonesia, Destry menjelaskan Dalam Global Competitiveness Index, tiga
poin yang menjadi masalah investasi di Indonesia tidak termasuk korupsi.
Karena bagi pengusaha yang dipikirkannya adalah bagaimana bisnis bisa
tetap jalan, meskipun mereka juga memahami itu tidak efisien, namun pada
intinya masih dapat diterima. HALLO
No comments:
Post a Comment